Kamis, 30 Januari 2014

Aku Hanya Tidak Bisa Membenci Hujan

Picture by: Google


Ini sudah yang ketiga kalinya di bulan Januari rumahku kembali disinggahi oleh tamu-tamu yang sering hadir jika hujan terlalu deras atau terlalu lama mengguyur di  kota tempat ku tinggal. Iya, apalagi kalau bukan banjir. Such a hard candy with the surprise center in the beginning of the year. Entah kenapa, hujannya selalu mengguyur di kala malam tiba, ketika sebagian orang sedang memasuki fase Rapid Eye Movement (REM) alias lagi nyenyak-nyenyaknya bobok. Dan ketika terbangun, air sudah mengepung seluruh sudut ruangan di dalam rumah. (KYAAA kita diserang negara air!). Zonk.

Teringat akan satu tahun yang lalu, tepat ketika aku masih kelas 3 SMA musim hujannya nggak gini-gini banget. Aku untungnya tidak pernah sampai bolos sekolah karena kebanjiran, at least cuma ngaret berangkatnya. Dan kini aku turut prihatin dan ingin memberikan puk-puk ketika lihat di timeline twitter, ketika sudah kelas 3 tapi harus bolos karena banjir. Padahal, tau sendirilah mereka akan menghadapi yang namanya Ujian Nasional beberapa bulan lagi dan kayaknya melewatkan satu pelajaran aja tuh worth banget... iya gak sih? iya-in aja. But I don't mean to blame juga, karena besar kemungkinannya ketika banjir mereka akan sulit mendapatkan transportasi menuju sekolah atau keadaan di sekitar rumahnya benar-benar gak memungkinkan untuk berangkat sekolah.

Dengan berbagai aktifitas yang dapat 'terhambat' dengan adanya hujan (don't make this an excuse..:-( ) dan musibah banjir, mungkin orang-orang akan menyalahkan hujan dan kadang berdoa agar hujan tidak turun. Kalau aku, sangat menyukai hujan. Mungkin bagi sebagian orang, hujan menjadi reminder akan kenangan di masa lalu, entah itu adalah kenangan yang menyenangkan sehingga layak untuk diingat atau malah sesuatu yang tidak seharusnya kembali muncul. Dan bisa jadi aku salah satunya. 
Seringkali aku mengharapkan hujan lebih lama turun agar aku dapat menikmati pemandangan akan kumpulan awan nimbostratus dan langit yang telah tertutup dan berubah menjadi kelabu. Tiap tetesan air yang menghujan jatuh ke bumi, membasahi tanaman-tanaman yang haus lagi kering. Berada di antara lalu-lalang orang yang sibuk mencari tempat untuk sejenak berteduh, sambil berjalan dibawah hujan dan menghirup aroma tanah yang basah karena hujan adalah kesenangan tersendiri bagiku. Kemudian, aku sering merasakan adanya suasana yang berbeda --suasana yang aku sendiri sulit untuk menjelaskannya.

Rasanya seperti, ini adalah hujan yang sama di kemarin hari. Hujan yang tak pernah berubah.
Mungkin kini hanya aku, dan kamu yang berubah. Atau mungkin juga mereka..

Lagipula gengs, hujan adalah nikmat yang diberikan oleh Allah dan salah satu waktu untuk berdoa yang di ijabah (baca: di kabulkan) oleh Allah. Jadi, sebetulnya yang perlu disalahkan atas kejadian banjir itu manusianya, bukan hujannya yaa..




*Dan untuk saudara-saudara kita di luar sana, mari kita berdoa untuk #BanjirJakarta #Manado #Sinabung dan berbagai kota yang sedang dilanda bencana alam.

Minggu, 26 Januari 2014

Hanya Sebuah Tulisan..

Siang hari ini sang matahari tidak ragu untuk memancarkan sinarnya, membangkitkan semangat dan produktivitas yang sempat tersembunyi beberapa hari yang lalu dan memunculkan kembali beberapa pertanyaan yang terus-menerus, lagi dan lagi memenuhi pikiranku akhir-akhir ini dan memaksaku untuk menemukan jawabannya.*apasih *apalah *abaikan saja

Photo by Google

Aku teringat akan film 'Gie' yang ku tonton beberapa hari yang lalu. Pada sebuah adegan yang berisi percakapan antara Gie dan seorang temannya, saat itu temannya bertanya mengapa Gie menjadi seseorang yang suka menentang. Kemudian Gie menjawab, "Kita tidak boleh begitu saja menerima nasib buruk yang terjadi dalam hidup kita dan menganggapnya sebagai kutukan. Jika kita ingin bebas, kita harus belajar terbang".
Kira-kira begitulah Gie menjawab pertanyaan temannya. Sejenak aku pun berpikir, bukankah sebetulnya nasib baik atau buruk itu relatif? Bukankah itu tergantung bagaimana kita memandang dan menyikapinya?
Disini aku tidak berbicara tentang penjajahan atau pemimpin yang bersikap dzalim pada rakyatnya --karena nantinya akan out of topic.
Sebetulnya, kenapa sih kita bilang sesuatu itu 'nasib buruk?' Karena tidak sesuai dengan ekspektasi kita selama ini kah? Apakah itu sungguh sangat buruk amat sekali? *lebay mode ON. Atau bisa jadi kita-nya saja yang kurang bersyukur.
Jadi begini, ada sebuah cerita tentang anak manusia yang merasa memiliki nasib buruk. Everything seems like the mistakes gitu deh. Doi merasa salah jurusan, menurutnya hal ini disebabkan ketidakadaannya passion dan visi di dalam jurusan tersebut. Doi pun sempat kepikiran untuk mencoba lagi di angkatan tahun selanjutnya. Tetapi karena menimbang beberapa faktor, hal tersebut menjadi tidak sederhana, seperti; bokap si doi yang nggak setuju doi mundur satu tahun, membagi waktu antara serius belajar untuk tes lagi dan kuliah dan segala macam aktivitas mahasiswa dan lain sebagainya yang aku pun bingung menuliskannya.

Hidup itu pilihan
Aku kenal dengan seseorang yang memiliki kasus seperti itu. Aku nggak tahu sih alasan kenapa dia sampai rela ikutan angkatan di bawah dia demi bisa pindah jurusan. Tapi yang jelas sih jurusan dia yang sekarang ini emang lebih 'wah' dan luckily, dia bisa survive di jurusan itu dan sekarang sudah berada di semester akhir. Pada kasus si doi, doi juga sebenarnya bisa kan? Layaknya seorang nahkoda kapal, selagi sempat ia dapat memutar balik kapalnya dan berlayar di jalur yang benar bukan?
Entahlah..
Sebenarnya aku pun tidak tahu tweeps...
Aku bingung...
Karena sesungguhnya menuliskan petuah-petuah bijak dan menasehati itu mudah sekali..
Bisa saja pada kasus si doi, doi ini hanya mengalami syndrome pasca melahirkan mahasiswa semester satu--seperti kebanyakan mereka yang labil dan akan berteriak histeris, "AH AKU SUDAH TIDAK TAHAN LAGI DI JURUSAN INI! AKU MAU COBA SBMPTN LAGI!....." 
namun kemudian setelah mengikuti sbmptn tahun berikutnya mereka gagal dan.... Balik lagi ke jurusan itu. (ini berdasarkan mini survei yang aku lakukan)

Aku ingat, ada yang pernah bilang padaku kalau hidup itu pilihan. Even tough, kita memilih untuk tidak memilih. Dan jika sudah memilih, kita harus fokus didalamnya.
Yang aku bingung, bagaimana kita tahu pilihan itu baik atau buruk agar tidak berimbas pada nasib buruk? Mungkin itulah mengapa kita perlu shalat istikharah, kalau dalam Islam. Agar keputusan yang akan kita jalani dan ambil tidak salah di kemudian hari. Insya Allah.
(Alhamdulillah ya, zuper sekali, pelajaran ane waktu sekolah dulu masih nyantol di otak :") )

Baiklah mari kita doakan agar si doi ini segera menemukan tambatan hatinya jalannya..

Sabtu, 25 Januari 2014

We Were Gonna Miss You, Bali!

On January the 11th-14th 2014, We were went to Bali. I mean, me, my sisters and my sisters friend. We left Jakarta on Saturday morning by plane. Okay here we go.. Enjoy!



Ngurah Rai Airport. Taken from inside the taxi. *Mr. Taxi Taxi Taxi..... *SNSD Backsound




Tugu Peringatan, Kuta. The place where we are reminded of the Bom Bali I and II's victims.



Did you know how the feeling of snorkling in the middle of rain? Freezeeee....



Pandawa Beach. I just can't stop saying, "pengen gue bungkus deh ke Bekasi..."



Sunset at Jimbaran. "This is the most romantic dinner as long as we were siblings..". Guess who saying that?








I just wanna feel the wind gusts, beach waves, and the sand beach. I really just wanna 'be there'....



My big sissy. I would thanks to her, my lovely big sissy