Picture by Google |
Hari ini aku baru saja mendapatkan sesuatu
yang membuat hatiku terkelu, sedih.
Siang tadi aku kembali ke rumahku di Bekasi
karena akan mengambil sesuatu yang tertinggal. Sambil menunggu kereta datang,
aku membaca buku praktikum anatomi yang baru saja aku beli kemarin, setengah
menggerutu karena uang bulananku lagi-lagi dipakai untuk membeli atau memotokopi
buku. Padahal kan nanti mau ikutan sbmptn lagi udah gitu dibaca semua juga
belum tentu, tapi kalau nggak beli gimana belajarnya.. Gumamku dalam hati.
Tidak
jauh dariku, aku menoleh pada seorang wanita lanjut usia yang memiliki disabilitas pada pengelihatannya sehingga ia membawa tongkat di tangannya bersama seorang pria.
Saat itu aku berpikir pria itu adalah keluarganya, sehingga mereka akan naik
gerbong campur. Aku kembali pada bacaanku dan kemudian, kereta tujuan Bekasi-pun tiba, karena tidak begitu
ramai aku tidak perlu berdesakan naik dan mendapatkan tempat duduk. Tidak lama
setelah aku duduk, datanglah wanita lanjut usia yang tadi aku lihat bersama
seorang wanita muda, bukan bersama pria tadi. Wanita muda itu segera memapah ibu
tersebut ke arah tempat duduk tepat di sebelahku. "duduk disini, Bu"
begitu katanya. Perasaanku langsung campur aduk. Bagaimana bisa aku langsung
duduk nyaman padahal diluar sana tadi ada seseorang dengan keterbatasan
pengelihatannya dan tanpa didampingi oleh keluarganya? Bagaimana bisa aku langsung
menyimpulkan kalau pria tadi adalah keluarganya sehingga aku langsung naik
kereta? Ya Allah.... Padahal dipangkuanku ada dua buah buku anatomi yang ada
embel-embel kedokterannya. Aku sangat malu.. Aku seharusnya menjadi seseorang
yang lebih peka dan peduli terhadap penyandang disabilitas dan kaum difable sepertinya. Seseorang
yang akan menjadi okupasi terapis, berada di jurusan yang nantinya akan melahirkan
seorang terapis yang akan membantu orang-orang dengan disabilitasnya agar
menjadi mandiri.
Dadaku menjadi sesak, tenggorokanku rasanya sakit. Dan rasanya air mata ini sudah berada di ujung mataku.
Aku memberanikan diri untuk memulai percakapan dengan ibu tersebut, "Ibu mau turun di
stasiun apa?" ibu itu menoleh, dan dengan suaranya yang terdengar polos, "Stasiun Kranji.."
Aku menatapnya, membayangkan jika aku harus kemana-mana sendiri padahal aku tidak mampu melihat apa yang ada di sekitarku, aman atau tidak. Bukankah itu sangat menakutkan? Membayangkan bahwa naik kereta bukanlah perkara
mudah karena pijakan aspal ketika turun terkadang jaraknya terlalu jauh atau
terlalu rendah sehingga mengharuskan kaki kita melangkah lebih besar.
Aku tidak bisa
mengalihkan pikiranku pada hal yang lain, sering aku menengok kesamping memperhatikannya yang sedang mengeluarkan beberapa lembar uang receh. "Mbak ini uangnya ada
seribuan nggak?" Ditangannya terdapat 1 lembar uang seribu, 5 lembar uang
dua ribu dan 2 lembar uang lima ribu "iya.. Ada kok bu.." penumpang lain
di hadapan kami jadi ngeliatin gitu "yang mana ya?" aku segera
mengambil uang seribu dari tangan kirinya dan memindahkannya ke tangan kanannya,
"yang ini bu..". "kalau lima ribuannya ada berapa?"
"ada 2 lima ribuan dan 5 lembar 2 ribuan bu.." Dan aku langsung memisahkan
uang 5 ribuan ibu itu dari campuran uang 2 ribuannya dan memberikan yang 5
ribuan itu ke tangan kanannya "ini 5 ribuannya bu, yang itu 2 ribuan"
kemudian Ibu itu memasukan uangnya ke dalam tasnya. "mbak kalau ini tiga
ribu?" Di tangannya ada selembar uang seribu dan selembar uang dua ribu,
"iya itu tiga ribu, Bu" tersunging senyuman di wajah ibu itu, "terima
kasih ya, Mbak". Subhanallah rasanya senang sekali... "iya sama-sama,
Bu". Stasiun demi stasiun terlewati dan kami hanya terdiam. Mungkinkah
mencoba Allah memberitahuku sebuah contoh nyata, bukan hanya sekedar kuliah-kuliah
yang sering aku dengar dari dosen? Entahlah..
Terdengar suara announcer dalam kereta
menyebutkan stasiun kranji, Ia seperti akan berdiri, "Ibu di Kranji juga
kan? Saya juga. Nanti kita turunnya bareng aja ya, Bu" "ooh kamu Kranji
juga? Iya.. Iya.. Terima kasih ya". Penumpang lain yang duduk tepat di
depanku termasuk wanita muda yang tadi membantu memperhatikan kami, "Turun
di Kranji juga, Mbak?" "Iya turun di Kranji" "Bareng? (Sambil
menunjuk Ibu yang duduk disebelahku)" "Iyaa bareng.." "ooh iya
iya". Aku terlebih dahulu berdiri dan memegangi lengan Ibu tersebut, di
sebelahnya ada Ibu muda yang juga membantu. "Langkah kakinya agak lebar ya,
Bu. Soalnya ini rendah sekali" aku juga sebenarnya bingung bagaimana cara
memandunya. Tapi untunglah, ketika turun, ada seorang ibu yang memanggilkan petugas di
stasiun untuk memapah si Ibu ini turun.
Aku dan seorang ibu muda berjalan menemaninya,
kami sempat bertanya mengapa ia sendirian, ia bilang karena tidak ada yang
menemani. Kami tidak menanyakan lebih lanjut kenapa ia tidak ditemani. Kami
kemudian menanyakan kemana tujuan si ibu dan ternyata memiliki rumah di dekat
masjid yang harus menyebrangi rel kereta. Jujur saja ini sangat berbahaya tapi ia
sudah terbiasa seperti ini. Melihat kami, seorang petugas stasiun langsung
datang untuk menuntun si ibu. Lalu, disinilah kami berpisah. Aku harus keluar
lewat pintu kiri dan mereka lewat pintu kanan.
Aku berharap, suatu saat nanti negara kita lebih peduli terhadap fasilitas penyandang disabilitas dan mereka dapat melakukan aktifitas secara mandiri dan aman.