Siang hari ini sang matahari tidak ragu
untuk memancarkan sinarnya, membangkitkan semangat dan produktivitas yang
sempat tersembunyi beberapa hari yang lalu dan memunculkan kembali beberapa
pertanyaan yang terus-menerus, lagi dan lagi memenuhi pikiranku akhir-akhir ini
dan memaksaku untuk menemukan jawabannya.*apasih *apalah *abaikan saja
![]() |
Photo by Google |
Aku teringat akan film 'Gie' yang ku tonton
beberapa hari yang lalu. Pada sebuah adegan yang berisi percakapan antara Gie
dan seorang temannya, saat itu temannya bertanya mengapa Gie menjadi seseorang
yang suka menentang. Kemudian Gie menjawab, "Kita tidak boleh begitu saja
menerima nasib buruk yang terjadi dalam hidup kita dan menganggapnya sebagai kutukan. Jika kita ingin bebas, kita harus belajar terbang".
Kira-kira begitulah Gie menjawab pertanyaan
temannya. Sejenak aku pun berpikir, bukankah sebetulnya nasib baik atau buruk
itu relatif? Bukankah itu tergantung bagaimana kita memandang dan menyikapinya?
Disini aku tidak berbicara tentang penjajahan
atau pemimpin yang bersikap dzalim pada rakyatnya --karena nantinya akan out of
topic.
Sebetulnya, kenapa sih kita bilang sesuatu
itu 'nasib buruk?' Karena tidak sesuai dengan ekspektasi kita selama ini kah? Apakah
itu sungguh sangat buruk amat sekali? *lebay mode ON. Atau bisa jadi kita-nya saja yang kurang bersyukur.
Jadi begini, ada sebuah cerita tentang anak
manusia yang merasa memiliki nasib buruk. Everything seems like the mistakes
gitu deh. Doi merasa salah jurusan, menurutnya hal ini disebabkan ketidakadaannya passion
dan visi di dalam jurusan tersebut. Doi pun sempat kepikiran untuk mencoba lagi
di angkatan tahun selanjutnya. Tetapi karena menimbang beberapa faktor, hal
tersebut menjadi tidak sederhana, seperti; bokap si doi yang nggak setuju doi
mundur satu tahun, membagi waktu antara serius belajar untuk tes lagi dan kuliah
dan segala macam aktivitas mahasiswa dan lain sebagainya yang aku pun bingung
menuliskannya.
Hidup
itu pilihan
Aku kenal dengan seseorang yang memiliki
kasus seperti itu. Aku nggak tahu sih alasan kenapa dia sampai rela ikutan
angkatan di bawah dia demi bisa pindah jurusan. Tapi yang jelas sih jurusan dia
yang sekarang ini emang lebih 'wah' dan luckily, dia bisa survive di jurusan
itu dan sekarang sudah berada di semester akhir. Pada kasus si doi, doi juga sebenarnya
bisa kan? Layaknya seorang nahkoda kapal, selagi sempat ia dapat memutar balik
kapalnya dan berlayar di jalur yang benar bukan?
Entahlah..
Sebenarnya aku pun tidak tahu tweeps...
Aku bingung...
Karena sesungguhnya menuliskan petuah-petuah
bijak dan menasehati itu mudah sekali..
Bisa saja pada kasus si doi, doi ini hanya
mengalami syndrome pasca melahirkan mahasiswa semester satu--seperti kebanyakan mereka yang labil
dan akan berteriak histeris, "AH AKU SUDAH TIDAK TAHAN LAGI DI JURUSAN INI!
AKU MAU COBA SBMPTN LAGI!....."
namun kemudian setelah mengikuti sbmptn tahun berikutnya
mereka gagal dan.... Balik lagi ke jurusan itu. (ini berdasarkan mini survei yang aku lakukan)
Aku ingat, ada yang pernah bilang
padaku kalau hidup itu pilihan. Even tough, kita memilih untuk tidak memilih.
Dan jika sudah memilih, kita harus fokus didalamnya.
Yang aku bingung, bagaimana kita tahu
pilihan itu baik atau buruk agar tidak berimbas pada nasib buruk? Mungkin
itulah mengapa kita perlu shalat istikharah, kalau dalam Islam. Agar keputusan
yang akan kita jalani dan ambil tidak salah di kemudian hari. Insya Allah.
(Alhamdulillah ya, zuper sekali, pelajaran ane waktu sekolah dulu masih nyantol di otak :") )
Baiklah mari kita doakan agar si doi ini
segera menemukan tambatan hatinya jalannya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar